YPI NURURROHMAN SERANG - BANTEN

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 19 November 2012

KISAH ISLAMI

Jangan Matikan Aku Sebelum Menghafal Alquran

Jangan Matikan Aku Sebelum Menghafal Alquran,menghafal alquran
Saat itu tepatnya tanggal 5 Oktober 2008 . Seorang gadis kecil Indonesia mengalami musibah yang luar biasa di negeri antah berantah nan jauh - Syria. Gadis kecil ini terjatuh dari ketinggian sekiar 15 meter dan terbanting-banting di anak tangga ampiteater Roma di Busrah. Karena kecelakaan ini gadis kecil tersebut mengalami pendarahan otak yang sangat hebat, gadis kecil ini mesti menjalani berbagai pembedahan otak dan merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Pada saat pendarahan masih menguasai otaknya sehingga kesadarannya timbul tenggelam, gadis kecil ini lirih berdoa :

"Ya Allah, jangan matikan aku sebelum aku selesai menghafal Al-Qu’ran...".

Dengan tekad yang luar biasa inilah gadis kecil ini berjuang melawan sakit di kepala yang tidak kunjung henti, terkadang dia harus menjeduk-jedukkan kepalanya di tempat tidur untuk mengimbangi rasa sakit yang sangat di dalam kepalanya.

Besarnya komitmen guna menghafal Al-Qur’an yang dialami oleh gadis kecil ini juga jauh diatas beban manusia pada umumnya, betapa frustasinya dia ketika hafalan ayat-ayat Al-Qur’an seolah timbul tenggelam di kepalanya silih berganti dengan rasa sakit yang bisa tiba-tiba muncul kapan saja. Tetapi dia terus belajar dan terus menghafal nyaris tanpa henti, dia hanya berhenti menghafal ketika sakit kepalanya sudah tidak tahan lagi.

Allah dan para malaikat rupanya menyaksikan betapa kuat niat gadis kecil ini guna menghafal Al-Qur’an. Di bulan Mei 2010 oleh ustadzah-nya dia dibimbing untuk menyelesaikan ujian tahfiz setengah Al-Qur’an (15 Juz) dengan seorang syeikh Qura di Damascus.

Gadis kecil ini pun lulus serta memperoleh syahadah (ijazah) sanad bacaan Al-Qur’an yang sampai kepada Ali bin Abi Talib Radhiallahu 'Anhu, dan tentu saja sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wasallam.

Tidak hanya sampai di sini, gadis kecil tersebut mencanangkan niatnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an penuh 30 juz pada Ramdhan 1432 H. Maka target ini hanya meleset kurang lebih 3 pekan ketika pada tanggal 19 Syawwal 1432 H /19 September 2011 kemarin gadis kecil ini menyelesaikan hafalannya yang 30 juz, diiringi sujud syukur orang tuanya. Allahu Akbar…

Atas permintaan kedua orang tuanya yang tawadhu’, saya tidak dapat ungkapkan nama gadis kecil ini. Tetapi bagi para gadis kecil – gadis kecil lainnya yang belajar Al-Qur’an di Madrasah Al-Qur’an Daarul Muttaqiin Lil-Inaats (Pesantren Putri) Jonggol, gadis kecil penghafal Al-qur’an ini kini menjadi salah satu guru atau mudarrisah ( ustadzhah) mereka.

Bahkan bukan hanya untuk anak-anak putri yang belajar Al-qur’an di madrasah tersebut dia menjadi guru, gadis kecil penghafal Al-qur’an ini juga layak untuk menjadi guru bagi kita semua para orang tua.

Guru dalam hal menyikapi musibah, guru dalam hal menghadirkan Allah dalam mengatasi persoalan kita, guru dalam mengisi hidup dengan Al-Quran, guru dalam merealisasikan niat, guru dalam menjaga komitment, guru dalam syukur dan sabar.

Jika gadis kecil dengan beban sakit kepala yang luar biasa ini bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an-nya 30 Juz dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, berapa banyak yang sudah kita hafal ?, berapa banyak yang kita niatkan untuk menghafalnya di sisa usia kita ?, seberapa kuat niat kita untuk mengamalkannya? Kita tahu persis jawabannya untuk diri kita masing-masing.

Maka memang tidak berlebihan kalau saya menyebut gadis kecil itu kini sebagai Sang Guru…!. Semoga Allah dan para malaikatNya terus mendampinginya hingga dewasa dan menjadi guru dan sumber inspirasi untuk memperbaiki anak-anak (dan para orang tua) dunia.

Nikah Yuk.

Nikah Yuk.


" Nikah...Belom kepikiran nih." atau " Ya sih. tapi calonnya cari di mana?" nah, yang jawab begini pasti sudah pingin (ehm ehm).
Menikah adalah Sunah Rosul SAW, setiap kita pasti ingin. Tapi sudahkah kita mempersiapkan diri menghadapinya?
saat ini kita melihat ada fenomena pelecehan terhadap lembaga perkawinan, bekalilah diri kita agar tidak jadi bagian darinya. Sebelum ada zina menikahlah.
Bukankah Rosul berkata bahwa salah satu orang yang akan di tolong Allah adalah yang menikah karena hendak menjaga kesuciannya. Rosul bersabda. wahai pemuda, barangsiapa yang telah mampu kawin, maka kawinlah. karena itu dapat menundukan pandangan dan lebih dapat memelihara kemaluan. dan barangsiapa yang belum mampu kawin, maka berpuasalah, karena puasa akan menjadi perisai baginya." (HR Ahmad).


Siap siap dari sekarang

1. Persiapkan diri dengan matang
Menikah bukan urusan sembarangan, kadarnya barangkali sama dengan menghadapi peperangan. Persiapan kudu ada, kalau tidak kita akan mati konyol atau kalah telak dalam pertempuran.
2. Mulai dari sekarang
mempersiapkan diri menuju pernikahan seharusnya sudah dilakukan sejak seseorang masih bujang atau gadis. bukan hanya sebulan dua bulan menghadapi pelaminan. bisa stres!!
Prof Dr dr H Dadang hawari dalam tulisannya amembagi persiapan pernikahan kedalam tiga aspek, yaitu: Aspek Fisik, mental dan psikososial.
Aspek fisik meliputi usia dan kondisi fisik. Aspek mental meliputi Kepribadian dan pendidikan. sedangkan Aspek Psikososial meliputi agama, latar belakang budaya, latar belakang keluarga, pergaulan serta
pekerjaan dan kondisi materi.
3. Komitmen dan tanggung jawab
Dari tiga aspek yang di sebutkan Prof Dr dr H dadang Hawari tadiyang paling mendasar adalah aspek psikologis. banyak pemuda dengan usia yang lebih dari cukup dan fisik yang sudah matang tapi belum juga menikah. Barangkali dua kata ini bisamemberikan jawaban. Komitmen dan tanggung jawab.
niat menikah akan mentah bila belum berani berkomitmen dan bertanggung jawab.
4. Orang tua perlu turun tangan
Untuk mencapai pernikahan yang barokah dan bahagia selayaknya aspek aspek persiapan di atas memang harus sudah ada sebelum kita menikah. tapi bagaimana bila aspek fisik dan kejiwaan sudah oke tapi belum ada kesiapan Finansial? Solusinya tentu saja merujuk pada hadits Rosul saw di atas yaitu berpuasa. tapi bagaimana jika berpuasa  ternhyata tidak mampu meredam. Sharing dengan orang tua adalah langkah yang tepat, mungkin mereka bisa membantu memberi tambahan modal finansial untuk menikah. tapi jangan di manfaatkan dengan meminta yang macam macan. Sudah minta sama orang tua pingin pesta tujuh hari tujuh malam pula, itu durhaka namanya.

Pada dasarnya menikah itu tidak butuh biaya yang besar walau bukan berarti tanpa biaya. yang penting dalam pernikahan itu adalah di penuhinya semua syaratnya. Seprti ada pengantin tentunya, penghulu, wali buat wanita, saksi dan mas kawin. bila itu sudah ada ijab kabul bisa dilaksanakan dan tentunya dengan tambahan saksi dari kantor urusan agama agar pernikahan kita tidak hanya sah dan halal. Tapi juga sah di mata hukum negara. Untuk uruan pesta itu bukan syarat pernikahan.
Nah semoga beruntung.

Sabtu, 17 November 2012

AKHLAK TERPUJI DAN AKHLAK TERCELA DALAM HUBUNGAN DENGAN KEHIDUPAN BERBANGSA

AKHLAK TERPUJI DAN AKHLAK TERCELA DALAM HUBUNGAN DENGAN KEHIDUPAN BERBANGSA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Kata Pengantar
Keberhasilan Rasulullah Saw dalam menyebarkan agama Islam benar-benar mengagumkan. Hanya dalam waktu kurang dari 25 tahun beliau berhasil mengubah masyarakat jahiliah yang sangat dekaden menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi dan sangat disegani bangsa-bangsa di sekitarnya. Beliau berhasil menegakkan suatu negara yang oleh sosiolog modern seperti Robert M. Bella diakui sebagai negara yang boleh disebut sebagai negara modern.
Konstitusinya yang dikenal dengan Piagam Madinah (Al-Shahifah Al-Madinah) dipandang oleh Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) mirip dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur suatu masyarakat majemuk. Kemudian, tidak lebih dari 200 tahun bangsa Arab telah menjadi satu-satunya super power di dunia saat itu, tidak saja dalam bidang politik, tetapi juga dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hingga abad 18, karya-karya kaum Muslim zaman Abbasiah dipelajari dan dijadikan referensi di berbagai perguruan tinggi Eropa. Oleh karena itu, para sejarawan dan ahli-ahli dalam berbagai disiplin ilmu, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari luar Islam, terus-menerus mempelajari sejarah hidup Rasulullah saw. Mereka yakin, di dalam dakwah Rasulullah saw., terdapat kunci-kunci sukses yang dapat diteladani dan direaktualisasikan di zaman modern. Dengan semangat seperti itulah tulisan ini disajikan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini secara garis besar rumusan masalahnya adalah :
a. Apakah pengertian mora dan akhlaq (etika) ?
b. Bagaimanakah cara untuk membangunan moral dan akhlak bangsa ?
c. Kenapa memperbaiki diri sendiri lebih diutamakan dari pada memperbaiki sistem yang ada ?
d. Seberapa pentingkah akhlakul karimah dalam kehidupan modern dan makna amanah dalam konteks akhlak bangsa ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral dan Akhlak (etika)
Moral adalah prinsip-prinsip yang berhubungan dengan benar atau salah, pengertian tentang perbedaan antara salah dan benar. Sedangkan akhlak ialah seperangkat tata nilai yang bersifat samawi dan azali, yang mewarnai cara berfikir, bersikap dan bertindak seorang muslim terhadap alam lingkungannya.
Menurut Al-Ghazali :
Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran lebih dahulu.
Akhlak umumnya disama artikan dengan arti kata budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun dalam bahasa Indonesia, atau tidak berbeda pula dengan arti kata ethic (etika).
Dimana-mana setiap kesempatan dan situasional orang berbicara tentang etika. Memang etika ini menarik untuk dibicarakan, akan tetapi sulit untuk dipraktekkan. Etika adalah sistem daripada prinsip-prinsip moral tentang baik dan buruk. Baik dan buruk terhadap tindakan dan atau perilaku.
Ethics dapat berupa etika (etik), yaitu berasal dari dalam diri sendiri (hati nurani) yang timbul bukan karena keterpaksaan, akan tetapi didasarkan pada ethos dan esprit, jiwa dan semangat. Ethics dapat juga berupa etiket, yaitu berasal dari luar diri (menyenangkan orang lain), timbul karena rasa keterpaksaan didasarkan pada norma, kaidah dan ketentuan. Etika dapat juga berarti tata susila (kesusilaan) dan tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan hidup sehari-hari baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, berbangsa dan bernegara. Dalam kelompok tertentu misalnya memiliki kode etik, rule of conduct, misalnya students of conduct, kode etik kedokteran, dan atau kode etik masing-masing sesuai dengan profesinya.
Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Kesusilaan mendorong manusia untuk kebaikan akhlaknya. Kesusilaan berasal dari ethos dan esprit yang ada dalam hati nurani. Sanksi yang melanggar kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri seperti penyesalan, keresahan dan lain-lain.
Kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar, dalam pergaulan sehari-hari, bermasyarakat, berpemerintahan dan lain-lain. Kesopanan dasarnya adalah kepantasan, kepatutan, kebiasaan, kepedulian, kesenonohan yang berlaku dalam pergaulan (masyarakat, pemerintah, bangsa dan negara). Kesopanan dititik beratkan kepada sikap lahiriah setiap subyek pelakunya, demi ketertiban dan kehidupan masyarakat dalam pergaulan. Sanksi terhadap pelanggaran kesopanan adalah mendapat celaan di tengah-tengah masyarakat lingkungan dimana ia berada, misalnya dikucilkan dalam pergaulan.
Apabila kita berbicara tentang etika ini, maka akan kita temukan beberapa pengertian antara lain :
a. Etika : sistem daripada prinsip-prinsip moral, dapat juga berarti rules of conduct, kode sosial (social code), etika kehidupan. Dapat juga berarti ilmu pengetahuan tentang moral atau cabang filsafat.
b. Ethos (jiwa) : karakteristik dari masyarakat tertentu atau kebudayaan tertentu.
c. Esprit (semangat) : semangat d’corps, loyalitas dan cinta pada kesatuan, kelompok, masyarakat, pemerintah dan lain-lain.
d. Rule (ketentuan, peraturan) : ketentuan-ketentuan dalam kebiasaan pergaulan masyarakat yang memberi pedoman atau pengawasan atau kegiatan tentang benar dan salah.
e. Norma : merupakan standar, pola, patokan, ukuran, kriteria yang mantap dari masyarakat atau pemerintah.
f. Moral : prinsip-prinsip yang berhubungan dengan benar atau salah, pengertian tentang perbedaan antara salah dan benar.
B. Pembangunan Moral dan Akhlak Bangsa
Keberhasilan dan kegagalan suatu negara terletak pada sikap dan prilaku dari seluruh komponen bangsa, baik pemerintah, DPR (wakil rakyat), pengusaha, penegak hukum dan masyarakat. Apabila moral etik dijunjung oleh bangsa kita maka tatanan kehidupan bangsa tersebut akan mengarah pada kepastian masa depan yang baik, dan apabila sebaliknya maka keterpurukan dan kemungkinan dari termarjinalisasi oleh lingkungan bangsa lain akan terjadi.
Bangsa kita terlalu terkonsentrasi dengan teori politik dan teori kehidupan yang berkiblat pada dunia barat dan timur saat membangun masyarakat. Bahkan kecenderungan untuk meninggalkan identitas timur religius lebih kentara. Di era 1950 - 1960 an negara kita berganti-ganti haluan politik seperti liberalisme, capitalisme komunisme dan nasionalis agama (nasakom) pernah dilalui dengan menggunakan pola trycle and error, sehingga mengalami keterlambatan sikap karena sering berganti pola politik yang pada akhirnya kita mengalami keterpurukan dan mendapat label negara terburuk baik di level regional, Asia maupun dunia. Hal ini terjadi diseluruh aspek kehidupan; di dunia politik, ekonomi, sosial, budaya dan sistem penegakan hukum.
Selama ini pembangunan nasional meliputi bidang agama, sebagai buktinya secara kuantitatif dan formalitas tempat ibadah kita dan seremoni keagamaan kita tampak ramai. Namun krisis moral terjadi sampai kini, disinilah sebuah tantangan bagi pemerintah dan pemuka agama, formalitas vs realitas.
Jalan keluarnya adalah bahwa kini harus mempunyai orientasi berbeda dengan sebelumnya. Kalau masa lalu seluruh bentuk pembangunan, termasuk bidang agama, berorientasi pada monoloyalitas politik, kini tentu harus diubah total. Orientasinya hendaknya untuk memperbaiki moralitas bangsa kita dan untuk memberdayakan masyarakat pemeluknya untuk hidup aman (hasanah) di dunia dan di akhirat kelak.
Dengan demikian maka perbaikan masa depan bangsa harus dimulai dengan perbaikan etika moral yang berlandaskan agama, karena identitas bangsa kita adalah identitas timur yang religius dimana hampir seluruh agama yang terlahir di dunia ini semua berasal dari dunia timur; agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto berikut seluruh sektenya. Terutama harus dimulai dari perilaku para pemimpin bangsa, karena perilaku masyarakat pada umumnya seperti lokomotif dan gerbong, alurnya dari bawah hingga tingkat atas berjalan estafet mengikuti arah dan stratifikasi sosial yang ada.
Etika berkuasa menurut Al-Ghazali
Seperti hikmah-hikmah yang diungkapkan Imam Al-Ghazali tentang perilaku masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh perilaku pimpinannya :
"Jika penguasa korup, maka korupsi akan menjadi trend dikalangan para pengikutnya. Keruntuhan dan kemakmuran suatu bangsa sangat bergantung pada perilaku dan etika berkuasa pemimpinnya".
"Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar seperti dua orang bersaudara yang dilahirkan dari satu perut yang sama Oleh karena itu wajib bagi seorang penguasa untuk menyempurnakan agamanya dan menjauhkan hawa nafsu, bid'ah, kemungkaran, keragu-raguan dan setiap hal yang mengurangi kesempurnaan syariat".
"sesungguhnya tabi'at rakyat merupakan tabi'at dari para penguasa".
Orang-orang awam melakukan perbuatan yang merusak karena mengikuti perbuatan para pembesar, mereka meneladani dan mencontoh tabiat para pembesar, seperti yang terjadi pada sejarah al-Wahid bin Abdul Malik dari keturunan bani Umayyah memiliki kegemaran terhadap bangunan dan pertanian, maka dengan serta merta rakyat dan bangsanya turut meneladani, tetapi ketika Sulaiman bin Abdul Malik kegemarannya makan, jalan-jalan dan memperturutkankan syahwat maka seluruh rakyatnya meneladani dan mengikutinya.
Jadi benang merah pembentukan masyarakat bangsa dan Negara berkehendak membentuk tatanan kehidupan yang memiliki etika moral yang berlandaskan agama adalah harus diawali dengan penataan kepemimpinan yang bersifat komprehensif, tidak saja presidenya akan tetapi seluruh komponen kepemimpinan; wakil rakyat, penegak hukum, pemegang kekuasaan di bidang perekonomian, pendidikan dan seluruh unsur birokrasi pelayanan rakyat harus ditata kembali. Pemimpin negara, wakil rakyat dan seluruh pemegang kekusaan dari gubernur sampai ke tingkat pemerintahan dan tokoh masyarakat etika dan moralnya harus merujuk kepada agama. Tidak ada lagi pemimpin yang dzalim kepada rakyat, bangsa dan negaranya. Rasulullah bersabda yang diriwayatkan dari Umar :
" Sesungguhnya ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, diwahyukan kepadanya empat perkataan,. Allah berfirman , Wahai Adam, Ilmumu dan Ilmu keturunanmu terdapat dalam empat perkataan, yaitu satu perkataan untuk-Ku, satu perkataan untukmu, satu perkataan antara Aku dan engkau, serta satu perkataan antara engkau dan manusia; Perkataan untuku adalah sembahlah Aku dan jangan menyekutukan Aku, Perkataan untukmu adalah Aku akan menyelamatkanmu dengan ilmumu, Perkataan antara engkau dan Aku adalah engkau berdoa dan Aku yang akan mengabulkan, perkataan antara engkau dan manusia adalah berbuat adil dalam urusan mereka, dan berbuat adil lah diantara mereka ".
Ibnu Qatadah berkata :
Kedzaliman ada tiga jenis : Kedzaliman yang tidak ada ampunan bagi pelakunya, kedzaliman yang tidak terus menerus, dan kedzaliman yang terdapat ampunan bagi pelakunya; Kedzaliman yang tidak ada ampunan bagi pelakunya adalah menyekutukan Allah, kedzaliman yang tidak terus menerus adalah kedzaliman yang dilakukan sebagian manusia kepada sebagian lainnya. Sedangkan kedzaliman yang terdapat ampunan adalah kedzaliman manusia atas dirinya karena melakukan perbuatan dosa, kemudian ia bertobat dan kembali kepada rabbnya. Allah akan mengampuni orang itu karena rahmat-Nya, dan memasukannya ke surga dengan karunianya.
Memantapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spiritual dan etika dalam penyelenggaraan negara serta mengupayakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama.
Meningkatnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama bagi individu, keluarga, masyarakat dan penyelenggara negara dan terbangunnya harmoni sosial guna mempererat persatuan dan kesatuan nasional. Hal ini karena berkeyakinan bahwa pengembangan pribadi, watak dan akhlak mulia selain dilakukan oleh lembaga pendidikan formal, juga oleh keluarga, lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan tradisional keagamaan serta tempat-tempat ibadah.
C. Memperbaiki Diri Sebelum Memperbaiki Sistem
Di antara prioritas yang dianggap sangat penting dalam usaha perbaikan (ishlah) ialah memberikan perhatian terhadap pembinaan individu sebelum membangun masyarakat; atau memperbaiki diri sebelum memperbaiki sistem dan institusi. Yang paling tepat ialah apabila kita mempergunakan istilah yang dipakai oleh Al Qur'an yang berkaitan dengan perbaikan diri ini; yaitu:
"...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..." (QS. Ar-Ra'd: 11)
Inilah sebenarnya yang menjadi dasar bagi setiap usaha perbaikan, perubahan, dan pembinaan sosial. Yaitu usaha yang dimulai dari individu, yang menjadi fondasi bangunan secara menyeluruh. Karena kita tidak bisa berharap untuk mendirikan sebuah bangunan yang selamat dan kokoh kalau batu-batu fondasinya keropos dan rusak. Individu manusia merupakan batu pertama dalam bangunan masyarakat. Oleh sebab itu, setiap usaha yang diupayakan untuk membentuk manusia Muslim yang benar dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang sempurna harus diberi prioritas atas usaha-usaha yang lain. Karena sesungguhnya usaha pembentukan manusia Muslim yang sejati sangat diperlukan bagi segala macam pembinaan dan perbaikan. Itulah pembinaan yang berkaitan dengan diri manusia.
Sejak badai krisis multi dimensi merasuki bangsa Indonesia, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi cara hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga secara realitas kita seperti kehilangan visi dan misi atau arah keberadaannya. Fenomena kekerasan yang terkadang dibumbui sentimen agama, maraknya Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) dan cara penyelesaian segala persoalan yang pragmatis, menjadi pemandangan yang kontras dengan nilai-nilai keberagamaan bangsa yang konon tersohor di mata dunia akan kerukunan dan toleransinya. Lalu mengapa dengan cepat sekarang ini bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang bercitra negatif?
Krisis multi dimensi tidak segera lepas seperti negara lain yang mengalami nasib sama, sebab utamanya adalah karena mengingkari aspek spiritualitas dan religiusitas sebagai ciri dan kekayaan bangsa kita yang konon pluralis dalam agama dan kepercayaan yang adalah sumber dan asal-usul dari spiritualitas. Spritualitas dan religiusitas merupakan buah-buah atau rohnya umat beriman, dan jika tidak demikian niscaya umat beragama akan kehilangan jati diri keberimanannya, yang akhirnya akan jatuh pada aspek lahiriah yang berbaju formalitas, hirarkis, ritualis dan apologetis. Semua ini tentu saja jauh dari apa yang disebut agama sebagai pemberi inspirasi dan transubstansi yang kontekstual.
Lembaga pendidikan di segala tingkat sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas SDM yang mengajarkan pendidikan keagamaan, selama ini belum mampu menjadi oase spritualitas karena metode pendidikan keberagamaan disampaikan seperti bidang studi lain, yang menekankan pengajaran dan transfer iptek dengan segala sistem dogmatika kurikulumnya. Sehingga aspek spritualitas nyaris belum tersentuh. Akibatnya peserta didik kurang respek terhadap hal-hal yang bernuansa keberagamaan, dan lambat-laun bangsa ini akan mengalami fase pemiskinan pengalaman beragama dalam entitasnya dengan kebersamaan.
Dan jika tidak segera tersolusi, maka di kemudian hari akan keropos, serta eksesnya akan menjadi bangsa dengan citra temperamental dan emosional. Dalam skala besar dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Namun jika tertangani sejak dini maka akan dapat menjadi jaminan kokohnya keutuhan bersama sebagai anak bangsa. Semakin dini peserta didik harus dicerahkan untuk melihat dan mengalami bahwa hidup bersama dibangun berdasarkan pada kenyataan terutama dari aspek spritualitas. Berdasarkan itulah kebenaran, kejujuran, dan kedamaian tumbuh dan berkembang subur.
Sesungguhnya keberagamaan mempunyai kemampuan luar biasa atau “mukjizat” untuk memberi kontribusi guna memecahkan persoalan apapun yang dialami bangsa atau umat manusia, sejauh para pemeluknya dapat memberdayakannya. Kekuatan dahsyat keberagamaan yang tidak dimiliki kekuatan lain ialah berupa kekuatan spiritual dan kekuatan sosial.
Sejauh ini hanya kekuatan sosial agama yang diberdayakan yang kentara bernuansa politis, sedang aspek spritualnya dimarginalkan atau dialternatifkan, yang berakibat ketidakseimbangan keberimanan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Indikasi yang kasat mata, dimana persoalan hidup berbangsa tidak berkurang tetapi malah bertambah kuantitas dan kualitas kompleksitasnya, disamping itu para pemeluk agama berada diambang krisis spiritual dan jika dibiarkan eksesnya akan lebih dramatis dibandingkan dengan krisis-krisis lainnya.
Berdasarkan akan realitas kekinian sangat tepat jika aspek spritualitas dikedepankan untuk memberi kontribusi mengatasi masalah sekarang ini. Dimana kekuatan politik, hukum, ekonomi, keamanan setelah diberi limit waktu tidak mampu mengentas apalagi menyembuhkan sakit kronis bangsa ini. Justru menjadi lahan konflik baru terutama di era otonomi daerah sekarang ini. Tidak ada jalan lain bagi bangsa ini yang memproklamirkan sebagai bangsa religius, untuk merefleksikan kembali secara bersama dan konsisten akan panggilan keberagamaannya dengan panduan para tokoh spritual.
Tokoh spritual biasanya justru lahir ketika zaman dalam kondisi chaos atau krisis seperti yang kita alami. Kelahirannya lebih dapat membawa harapan solusi dari pada tokoh elit dan tokoh birokratik. Paradigma tokoh spiritual ialah pribadi beriman yang konsekwen, sistematis merefleksikan panggilan keimanan dimana doa, dan kedisiplinan menjadi nafas hidupnya. Sehingga memurnikan motivasi paritipasinya bergulat dalam ziarah hidup bersama. Atau dengan kata lain pribadi yang menjalankan prinsi-prinsip kenabian dalam situasi dan kondisi kekinian, berani bersaksi dan bertindak atas nama kebenaran sekaligus menjadi mediator vertikal dengan Sang Pencipta maupun horisontal dngan sesama.
Kemerdekaan menjadi kepribadiannya sekalipun tidak bisa tidak harus berdiri pada basis latar belakang kontekstualnya. Ia hadir sebagai agen perubahan mental dan sosial untuk memecahkan persoalan pada jamannya dan tidak pernah mengorbankan martabat manusia apapun alasannya. Tetapi kita masih harus bersabar dalam doa, karena sekalipun kondisi krisis sudah kronis belum ada tokoh spiritual yang terpanggil dan berani tampil dipentas publik. Malahan yang hadir tokoh politik, birokrat, pengusaha dan tokoh LSM yang selalu ironis dan tidak pernah bisa duduk bersama guna menyelesaikan masalah, tetapi malah saling berlawanan dan tuding-tudingan mencari pembenaran masing-masing.
Realitas tersebut membenarkan asumsi bahwa religiusitas dan spiritualitas kita belum sampai pada tahap internalisasi tetapi baru formalisasi. Indikasi langsung maupun tidak langsung yang terjadi adalah prestasi kebangsaaan kita terus berada pada titik nadir. Kecuali itu paradigma hidup berbangsa menjadi bias karena tidak mempunyai model spiritualitas yang legitim bagi semua anak bangsa.
Sebaliknya budaya KKN tumbuh subur, pelayanan dari negara tidak berjalan sebagaimana seharusnya, hati nurani tumpul nyaris tidak ada lagi semangat pengorbanan. Lalu narkoba, maksiat, judi, kriminalitas takhayul dan gejala destruktif lainnya dengan modus-operandi macam sindikat menjadi pemandangan sehari-hari. Sedang gejala krisis spiritualitas intern dalam keberagamaan di era globalisasi sekarang ini ialah umat beragama enggan, tabu dan tidak lagi mempercayai “mukjizat” sebagai kekayaan iman, tetapi malah vulgar meyakini hal-hal yang akrobatik dan spektakuler yang mudarat.
Sebagai orang beriman dan berdasarkan situasi kronis yang kita alami sebagai bangsa, nihil dapat mengentas persoalan, apalagi hanya mengandalkan rasio dan akal budi kecuali terjadi “mukjizat”. Oleh karena itu perlu adanya pemandangan baru tentang mukjizat dari para beriman secara wajar dan proporsional tidak ditabukan tetapi diberdayakan, bukan bagian sejarah masa lalu tetapi untuk sepanjang masa. Sejarah Nabi memang sudah ditutup atau berakhir, tetapi spiritualitas kenabian tidak akan pernah berakhir, justru harus semakin berkembang jumlah dan mutunya untuk mengawal sejarah hidup manusia.
Setiap agama dan kepercayaan sesuai dengan visi dan misinya mempunyai latar belakang pengalaman akan Sang Pencipta yang mempunyai mukjizat tinggi bagaimana para orang beriman memberdayakannya. Pertobatan dapat menjadi awal terjadinya mukjizat didukung sikap dan perilaku tidak dikotomis, artinya orang harus taat pada kebenaran dan menolak tegas segala bentuk kejahatan bukan dengan perkataan tetapi dengan konsekuensi. Apabila perilaku seperti itu yang terjadi terutama bagi para elit berarti “mukjizat” mulai terjadi. Kontribusi keberagamaan terealisir, spiritualitas meresapi selurruh pribadi, religiusitas tumbuh subur Indonesia baru yang dicita-citakan niscaya menjadi kenyataan
Kita masih berada pada posisi sulit dihadapkan dengan aneka masalah kebangsaan. Menginventarisasi masalah tentu mudah, namun meracik formula solusi yang tepat, apalagi mengimplementasikannya tidaklah gampang karena ruwetnya persoalan serba dimensi itu. Namun, tidak berarti bangsa ini pasrah saja karena selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah dengan kata kunci serius, kerja keras, padu, mendahulukan kepentingan bangsa, dan rela berkorban. Karenanya, perlu upaya menembus kebuntuan masalah, baik dengan terobosan jangka pendek maupun langkah strategis jangka panjang. Dalam beberapa segi pemerintah telah melakukan hal itu, namun masalah utama yang tampak benderang adalah masih jauhnya bangsa ini dari kata kunci di atas.
Tatanan sosial masyarakat di atas setidaknya dapat kita terjemahkan sebagai masyarakat madani. Sebuah tata masyarakat yang diyakini sebagai "anak kandung" dari peradaban Islam. Mengingat, karakteristik akhlak dan budi pekerti yang luhur, bersumber pada nilai dan ajaran agama terlihat begitu kentara di dalamnya. Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Al Quran.
Meski Al Quran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
D. Akhlakul Karimah dalam Kehidupan Modern
Saat ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat dengan norma susila .
Kita harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga mampu menyaring “ampas negatif” teknologi dan menjaring saripati informasi positif.
Dengan otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang muslim akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh, Akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah karena akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Mencermati Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat memperoleh kesimpulan sementara bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan” yang ada.
Televisi yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan kesenangan. Belum lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi.Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Adanya fenomena sosial yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini membutuhkan terapi yang harus dipikirkan bersama. Banyaknya mall, maraknya hiburan malam, beredarnya minuman keras dan obat terlarang, munculnya amukan massa merupakan fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat” dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.
Belum lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkan korban-korban generasi muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul karimah, juga diperlukan tindakan represif dari aparat terkait.
Upaya menumbuhkan-kembangkan akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama, yakni keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut memiliki tanggung jawab bersama untuk mendarah-dagingkan akhlakul karimah, terutama di kalangan generasi muda.
Hampir setiap hari melalui media masa kita disuguhi munculnya fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristiwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan, fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.
Urgensi akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi perampokan, penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif akan tetapi harus melalui penanaman akhlakul karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang semakin sulit dibendung.
Di dalam menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah
Artinya: “Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. Bukhari).
Bahkan dalam Hadits lain Rasulullah bersabda:
Artinya: “Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya”. (H.R. Muslim).
Akhirnya, jelas urgensi pendarah-dagingan akhlak bagi bangsa yang mayoritas Muslim seperti bangsa Indonesia ini.
E. Makna Amanah Dalam Konteks Akhlak Bangsa
Dari segi bahasa, amanah ada hubungannya dengan iman dan aman. Artinya sifat amanah itu dasamya haruslah pada keimanan kepada Alloh
SWT, dan dampak dari sifat amanah , atau pelaksanaan dari hidup
amanah itu akan melahirkan rasa aman, rasa aman bagi yang
bersangkutan dan rasa aman bagi orang lain. Seperti yang tersebut di
muka, dari Al Qur'an amanah dapat difahami sebagai sikap kepatuhan
kepada hukum, tanggung jawab dan sadar atas implikasi dari suatu
keputusan. Dalam hadis amanah dapat difahami sebagai titipan dan juga
sebagai komitmen. Dalam konteks kehidupan berbangsa amanah artinya
semangat kepatuhan kepada hukum, baik hukum Tuhan yang universal
maupun hukum positip (nilai maupun bunyinya), bertang­gung jawab
kepada Tuhan, negara dan diri sendiri, serta sadar atas implikasi
dari suatu keputusan yang mungkin akan menimpa banyak pihak.
1. Amanah Dalam arti Kepatuhan Kepada Hukum
Hukum, baik hukum agama maupun hukum negara dimaksud untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk yang beradab, yang membedakannya dari hewan. Pelaksanaan hukum dimaksud untuk membela manusia agar mereka tetap terhormat sebagai manusia, menjamin agar setiap orang dilindungi hak-haknya dan dijamin keberadaanya di jalan kebenaran dan keadilan. Dengan hukum manusia bisa bergaul, berjuang dan bersaing secara fair sehingga setiap orang berpeluang sama untuk meraih hak- haknya. Penegakan hukum oleh aparat negara akan memberikan rasa aman dan rasa keadilan kepada masyarakat, dan pada gilirannya akan menumbuhkan apresiasi hukum oleh masyarakat. Pada masyarakat yang telah memiliki apresiasi hukum, pelanggaran hukum oleh warga akan menimbulkan gangguan psikologis pada masyarakat. Pengabaian penegakan hukum oleh aparat hukum akan mengusik rasa keadilan masyarakat, yang pada gilirannya akan melahirkan protes atau malah frustrasi sosial yang dapat mengkristal menjadi ledakan sosial.
Pada masyarakat yang paternalis seperti masyarakat Indonesia, contoh kepatuhan kepada hukum oleh elit sosial akan sangat efektif dalam
menanamkan kesadaran hukum.
Demikian juga penegakan hukum tanpa
pandang bulu —terutama kepada kelompok kuat— akan memberikan rasa
keadilan dan kedamaian yang luar biasa kepada masyarakat luas. Hadis
Nabi mengingatkan bahwa kehancuran suatu bangsa antara lain
diakibatkan oleh pelaksanaan hukum yang pilih kasih, jika yang
melanggar hukum orang lemah, hukum ditegakkan, tetapi jika
pelanggarnya orang kuat, hukum tidak ditegakkan. Nabi menga­takan:
Seandainya Fatimah putri Rasul mencuri pasti hukum potong tangan akan
dilaksanakan juga.
Masyarakat amanah secara hukum adalah masyarakat yang menjunjung tinggi hukum-hukum yang telah disepakati mengatur kehidupan mereka, mematuhi rambu-rambunya dan menegakkan sanksi hukum atas pelanggarnya. Bangsa yang memegang teguh amanah dalam perspektip hukum adalah bangsa yang mampu mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem hukum yang memenuhi rasa keadilan rakyatnya.
2. Amanah Sebagai Titipan
Sesuatu yang dititipkan adalah sesuatu yang penjagaannya dipercayakan kepada orang yang dititipi hingga suatu saat sesuatu itu akan diambil oleh yang menitipkan. Maksud menitipkan adalah agar sesuatu yang dititipkan itu tetap terjaga dan terlindungi keberadaan­nya. Tanggung
jawab memelihara sesuatu yang dititipkan itulah yang disebut amanah.
Anak adalah amanah Allah kepada orang tuanya dimana orang tua
berkewajiban memelihara dan mendidiknya agar anak itu terpelihara dan
berkembang potensinya hingga ia kelak men­jadi manusia yang
berkualitas sesuai derngan maksud penciptaannya. Isteri adalah amanah
Allah kepada suami dimana suami wajib melin­dunginya dari gangguan
yang datang, baik gangguan fisik maupun psikis' . Demikian juga suami
adalah amanah Allah kepada isteri dimana ia wajib memberikan sesuatu
yang membuatnya tenang, tenteram, aman dalam menjalankan tugas-tugas
hidupnya. Demikian seterusnya, mu-rid merupakan amanah bagi guru,
jabatan merupakan amanah bagi penyandangnya.
Dalam sebuah hadis tentang perkawinan dinyatakan bahwa seorang wanita menjadi halal digauli oleh lelaki (suaminya) dengan menyebut kalimat Allah, dan si suami mengam­bil oper tanggung jawab atas isterinya dengan amanat Allah (wa akhodztumu hunna biamanatillah).
3. Amanah Sebagai Tanggung Jawab
Predikat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, disamping
mengandung makna kewajiban manusia menegakkan hukum Tuhan di muka bumi juga mengandung arti hak manusia mengelola alam sebagai fasilitasnya. Apakah alam, laut, udara dan bumi memberi manfaat kepada manusia atau tidak bergantung kepada kemampuannya mengelola alam ini. Banjir, kekeringan, tandus, polusi dan sebagainya sangat erat dengan kualitas pengelolaan manusia atas alam. Dalam al Qur'an, tegas disebutkan bahwa kerusakan yang nyata-nyata timbul di daratan dan di lautan merupakan dampak dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab(Q/30:41).
Demikian juga tidak berfungsinya sumberdaya alam bagi kesejahtreraan hidup manusia merupakan akibat dari perilaku manusia yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Q/ 7:96)
Tanggungjawab artinya, setiap keputusan dan tindakan harus diperhitungkan secara cermat implikasi-implikasi yang timbul bagi kehidupan manusia dengan memaksimalkan kesejahteraan dan meminimalkan mafsadat dan mudharat. Setiap keputusan mengandung implikasi-implikasi positif dan negatif, yang mendatangkan keuntungan dan yang mendatangkan kerugian. Jika peluangnya berimbang, maka mencegah hal yang merusak harus didahulukan atas pertimbangan keuntungan (dar'u al mafasid muqaddamun 'al/1 jalb al masalih). Contohnya: menebang hutan itu mudah dalam menambah keuangan negara, te­tapi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat penebangan hutan lebih berat dan lebih mahal biaya rehabilitasinya dibanding keun­tungan yang diperoleh.
Pejabat publik (Presiden, Gubemur, Menteri dan seterusnya hingga jabatan terendah) adalah pemegang amanah tanggung jawab. Otoritas yang dipegangnya bukan pada aspek kekuasaan, tetapi pada aspek pengelolaan dan pelayanan, sehingga seorang pemimpin disebut sebagai pelayan masyarakat (sayyid al qaumi khodimuhum). Keputusan yang diambil oleh seorang pejabat publik berpeluang untuk menimbulkan implikasi yang luas kepada kehidupan masyarakat luas. Jika kepu­ tusannya tepat, maka manfaatnya akan dinikmati oleh banyak orang, tetapi jika keputusannya keliru maka dampak negatipnya hams di­ tanggung oleh masyarakat luas.
Seorang pejabat publik dituntut untuk memiliki tanggung jawab besar dalam membuat keputusan, yaknimendatangkan sebanyak-banyaknya manfaat bagi masyarakat dan menekan sekecil mungkin resiko yang hams dipikul orang banyak. Tanggung jawab bagi seorang pejabat publik juga berarti ia layak memperoleh pujian dan penghormatan jika pekerjaannya baik, dan sebaliknya ia dapat dikritik, dicaci, dipecat atau bahkan dihukum pen­jara jika keputusan dirinya keliru. Pemerintah sebagai pemegang Amanah Penderitaan Rakyat artinya Pemerinrtah dibebani tanggung jawab untuk melakukan hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menghilang­ kan penderitaan yang dirasakan oleh rakyatnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam sebagai sistem kehidupan yang syamil, kamil & mutakamil (Sempurna dan paripurna) dengan dilandasi aqidah yang salim (Selamat) pada akhirnya membentuk sebuah masyarakat utama. Maka tugas masyarakat yang pertama adalah memelihara aqidah, menjaga dan memperkuat serta memancarkan sinarnya keseluruh penjuru dunia. Bagaimana islam sebagai sebuah sistem dan landasan aqidah yang kuat menghadapi persoalan kontemporer dan bagaimana pula islam memandang hal al-fundamental pada sisi ruang, waktu dan aktivitas kehidupan manusia ? islam sebagai manhaj (jalan/metodologi) memiliki banyak keunggulan yaitu :
1. Kebenaran manhaj islam telah teruji dan sejarah telah menjadi saksi atas keunggulannya .
2. Manhaj islam telah berhasil mencetak umat paling kuat, paling utama, paling sarat kasih sayang, dan paling diberkati diantara bangsa-bangsa yang ada.
3. Dengan kesucian manhaj islam telah berhasil mencetak umat islam dan telah bersemayamnya manhaj ini dalam dada manusia, menjadikannya mudah diterima semua kalangan, mudah dipahami, dan mudah diikuti pesan-pesannya. Apalagi islam juga membenarkan bahkan menanamkan kebanggaan berbangsa dan memberikan bimbingan kepada manusia untuk mencintai tanah airnya. Mengapa demikian ? karena kita harus membangun kehidupan ini diatas nilai-nilai kehidupan kita sendiri, tanpa perlu mengambil milik orang lain. Dan pada yang demikian itulah kita dapatkan hakikat kemerdekaan sosial dan kemuliaan hidup setelah kemerdekaan secara politik.
4. Berjalan diatas jalan ini berarti mengokohkan persatuan arab secara khusus, dan persatuan islam secara umum. Dunia islam dengan segenap jiwanya telah memberikan kepada kita kepekaan perasaan, kelemah lembutan, dan dukungan, sehingga kita menyaksikan sebuah jalinan yang demikian kuat antara kita dengan islam, yang keduanya saling memberi dukungan dan saling menghormati. Pada yang demikian itu ada sebuah keberuntungan (peradaban ) yang besar, yang tidak mungkin diingkari oleh siapapun.
5. Manhaj islam adalah manhaj yang sempurna dan menyeluruh. Ia memuat sistem paling utama untuk memandu kehidupan umat secara umum, baik kehidupan lahiriah maupun batiniah. Inilah keistimewaan islam apabila dibandingkan dengan ajaran lain, dimana ia islam meletakkan undang-undang kehidupan umat ini diatas dua pondasi pokok : mengambil yang maslahat dan menjauhi yang madharat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyimsyah Nasution MA. Dr. Filsafat Islam ( Gaya Media Pratama Jakarta, 2002).
Mustofa H. Drs. Filsafat Islam (Pustaka Setia Bandung 1997)
Ibrahim Madkour, el Farabi dalam MM Sharif 9 ( ed) A history of
Muslim Philosophy 1963).
Tj. De Boer , Tarekh al- Falsafah fi al- Islam , terjemahan Arab oleh Abd al Hadi abu raidah 1988.
Dewan enseklopedi islam ,Ensiklopedi islam (Jakarta ichtiyar baru van hoeve ,1997).
Imam Munawwir ( Pt Bina Ilmu , Surabaya, 2006 ).
http://nasrulloh-one.blogspot.com/2009/06/moral-akhlak-berbangsa-dan-kerukunan.html

Selasa, 13 November 2012

Bab Air (Hadits 10) : Najisnya Air Kencing Manusia dan Cara Mensucikan Tanah yang Terkencingi

















 

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ


 وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas bin Malik –radiyallahu ‘anhu-, dia berkata, “Pernah datang seorang arab Badui, lalu dia kencing di pojok masjid, kemudian orang-orang menghardiknya, dan Rasulullah menahan hardikan mereka. Ketika dia telah menyelesaikan kencingnya, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memerintahkan (untuk mengambil) seember air, lalu beliau siramkan ke tempat itu” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Faedah Hadits


  1. Air kencing (manusia) itu najis, dan wajib mensucikan tempat yang mengenainya baik itu badan, pakaian, wadah, tanah, atau selainnya.
  2. Cara mensucikan air kencing yang ada di tanah adalah menyiramkannya dengan air, dan tidak disyaratkan memindahkan debu dari tempat itu baik sebelum menyiramnya maupun setelahnya. Hal serupa (penyuciannya) dengan air kencing adalah (penyucian) najis-najis lainnya, dengan syarat najis-najis tersebut tidak berbentuk padatan.
  3. Penghormatan terhadap masjid dan pensuciannya, serta menjauhkan kotoran dan najis darinya. Telah diriwayatkan oleh al-jama’ah, kecuali imam Muslim bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang Badui tersebut, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak dikotori sesuatu berupa kencing ini dan kotoran, tempat ini hanyalah untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an”.
  4. Toleransinya akhlak Nabi –shallallahu a’laihi wa sallam-. Beliau memberi petunjuk kepada orang arab Badui tersebut dengan lemah lembut setelah dia selesai kencing, yang membuat dia mengkhususkan doanya untuk nabi, dia berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah engkau rahmati seorangpun yang ada bersama kami”, sebagaimana yang terdapat di Shahih Al Bukhori.
  5. Luasnya pandangan beliau dan pengenalan beliau tentang tabiat manusia serta baiknya akhlak beliau bersama mereka sampai-sampai seluruh hati mereka mencintai beliau, Allah ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS Al Qolam : 4).
  6. Ketika ada berbagai kerusakan berkumpul, maka yang dilakukan adalah kerusakan yang lebih ringan. Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membiarkannya sampai selesai kencing, agar tidak mengakibatkan mudhorat dengan terputusnya kencing (secara mendadak) dan dari terkotorinya badannya, pakaiannya, dan menyebarnya kencing tersebut ke daerah lain di dalam masjid tersebut, serta bahaya yang terjadi pada tubuhnya khususnya saluran kencing
  7. Jauhnya dari masyarakat dan kota menyebabkan kurangnya pengetahuan dan kebodohan.
  8. Anjuran lemah lembut dalam mengajarkan orang yang bodoh tanpa kekerasan
  9. Bahwa yang dikenai hukum-hukum syar’I berupa dosa atau hukuman di dalam kehidupan hanyalah untuk orang yang tahu terhadap hukumnya, adapun orang yang bodoh maka tidak tercela baginya, akan tetapi diajarkan padanya agar dia mengerjakannya.

(selesai)

Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah

Pertanyaan:


  1. Bagaimana mensucikan air kencing yang ada di tanah?
  2. Kenapa (apa hikmahnya) Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- membiarkan si Badui selesai dari kencingnya?
  3. Apa yang tercermin dari akhlak Nabi -shallalahu 'alaihi wa sallam- dalam kasus ini?

Senin, 08 Oktober 2012

Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai Proses Akad Nikah

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Artikel Aplikasi Komputer

MICROSOFT PUBLISHER

Microsoft Publisher merupakan salah satu dari keluarga Microsoft Office, ya mungkin masih kakak ma Ms. Word, Ms. Excel, dan lain-lain. Manfaat dari Ms ini untuk membuat undangan, kartu nama, sertifikat, banner, kalender, dan masih banyak lainnya. Tidaklah sulit menjalankan aplikasi ini karena tools didalamnya hampir dengan Ms office yang lain.
      

Microsft Publiser

1. Tuliskan program-program yang dapat digunakan untuk membuat desain website
2. Jelaskan keunggulan dari (a) Front Page (b) Microsoft Publisher ?
3. Tuliskan prosedure untuk menjalankan Microsoft Publisher ?

Jawaban :
1. Software Desain : Membuat desain layout homepage, sebagai awal dalam membuat web biasanya para web designer dimulai dengan software ini sebagai tampilan sementara dan variasinya.
Program yang digunakan :
*Adobe Photoshop : Desain berbasis titik ( bitmap )
*CorelDraw : Desain berbasis vector (garis)
*Macromedia Firework : Design & terjemahkan/optimalkan bitmap dalam bentuk web
*Adobe Image Ready : Memotong image dalam format html
*Adobe Illustrator : Desain berbasis vector
*Macromedia Freehand : Desain berbasis vector
Software Efek Desain : Berguna untuk menghidupkan desain yang telah kita rancang.
*Painter : Memberikan efek lukisan
*Ulead Photo Impact : Efek frame dan merancangan icon yang cantik.
*Plugins Photoshop : Memberi efek desain saat mendesain layout homepage di Photoshop.
Software Animasi : Menambahkan animasi agar kelihatan lebih menarik dan hidup.
*3D Studio Max : Untuk membuat objek dan animasi 3D.
*Gif Construction Set : Membuat animasi file gif
*Macromedia Flash : Menampilkan animasi berbasis vector yang berukuran kecil.
*Microsoft Gif Animator : Membuat animasi file gif
*Swift 3D : Merancang animasi 3D dengan format file FLASH.
*Swish : Membuat berbagai macam efek text dengan format file FLASH.
*Ulead Cool 3D : Membuat animasi efek text 3D.
Software Capture : Untuk mengambil sebagian gambar dr image lain
*Snagit : Untuk capture dan juga bisa edit hasilnya.
Software Web Editor : Istilah lainnya adalah CMS (Content Management System), Menyatukan keseluruhan gambar dan tata letak desain, animasi, mengisi halaman web dengan teks dan bahasa script.
*Macromedia Dreamweaver : Editor yg umum dipakai dgn berbagai fasilatas visual tuk kemudahannya.
*Microsoft Frontpage : Editor lama, sebelum mengenal dreamweaver bawaan microsoft.
*Joomla : CMS free, dipakai tuk web / blog yg sering update berita.
*WordPress : seperti joomla hanya tidak selengkap joomla tp lebih mudah pemakaiannya.
Software Upload : File html diletakkan ( upload ) di suatu tempat ( hosting ) agar orang dapat melihat homepage di internet.
• FileZilla FTP : free FTP dan banyak dipakai para bloger
• Cute FTP : FTP yg gw pake cos lebih familiar
• Macromedia Dreamweaver : Fasilitas Site FTP
• Microsoft Frontpage : Fasilitas Publish
Sound Editor : Buat yg berjiwa music bisa menhidupkan web/blog dengan software ini. Tools tuk manipulasi file midi atau wav.
o Sound Forge : Manipulasi efek file yang berformat mp3 dan wav.
o Cakewalk : Manipulasi efek untuk file yang berformat midi
Browser : Untuk menampilkan hasil web / blog dalam local computer atau dunia maya luar.
• Internet Explorer : Web browsing standar bawaan Microsoft
• Mozilla FireFox : Browser terbaik yg popular
• Opera : Browser yang memiliki segudang fitur
• Netscape : Browser yang memiliki pengaman terhadap virus dan spyware
2. Keunggulan FrontPage adalah mudah penggunaanya, memiliki tampilan yang mirip Microsoft Word. Bila terbiasa menggunakan Micrososft Word, tidak terlalu mengalami kesulitan dalam menggunakan program ini.
Keunggulan utama dari Microsoft Publisher adalah sangat mudah digunakan dan membantu kita membuat website dalam waktu singkat. Beberapa keunggulan lainnya yang terdapat pada Microsoft Publisher adalah :
• Tidak memerlukan pengalaman dan keahliah pemrogaman HTML dan program web lainnya.
• Drag and drop the objek dengan tampilan layout dan desain berbasis WYSIWYG (What You See Is What You Get).
• Dapat membuat website terdiri dari beberapa pages (halaman) dan mudah mengaturnya sewaktu-waktu.
• Dapat digunakan untuk membuat website dalam jumlah tidak terbatas.
• Memiliki template yang dapat digunakan untuk membuat web secara instan.
• Dapat menggunakan CSS style sheet untuk mengatur tampilan website.
• Memiliki banyak fungsi : thumbnail, mouse-over effects, ready-to-use java script effects, text link style sheet, tables, forms, iFrames dan lain-lain.
• Website yang kita buat dapat diupload sewaktu-waktu dengan fungsi Publisher.
• Website yang dibuat kompatibel pada berbagai web browser.
3. Langkah – langkah mengaktifkan Microsoft Publiser:
Sebelum mengaktifkan Microsoft Publisher, Installah terlebih dahulu software Microsoft Publisher ke komputer. Setelah itu, Anda dapat mengaktifkan Microsoft Publisher dengan langkah-langkah sebagai berikut.
• Klik menu Start
• Arahkan pointer mouse pada All Programs
• Arahkan pointer mouse pada Microsoft Publisher
• Klik Microsoft Publisher
Langkah – langkah pembuatan Web di
Microsoft Publisher
Langkah pembuatan Microsoft Publisher secara Automatic / Instan :
1. Klik Tool Web Sites and E-mail pada Site Panel New From Design
2. Pilih Product Sales
3. Pilih tampilan Webdesign yang ada di Work Window
Setelah itu akan muncul tampilan seperti gambar dimana Microsoft Publisher telah membuatkan kepada kita halaman – halaman internet ( webpage ) hingga berjumlah 10 ( sepuluh ) buah. Halaman – halam tersebut terdiri dari :
1. Level Utama ( Index / Home ) – Halaman 1
2. Level Pendukung Utama - Halaman 2, 3
3. Level Kedua ( product list ) - Halaman 4
4. Level Ketiga ( product detail ) – Halaman 5 – 10
Halaman – halaman tersebut dapat kita rubah / edit sesuai dengan konsep produk yang sudah kita buat, walaupun Microsoft Publisher telah menyediakan konsep web standar berupa materi dan gambar gambar produk yang cukup relevan, namun semua itu bisa dirubah sesuai dengan keinginan kita.

Selasa, 02 Oktober 2012




Selasa, 10 Juli 2012

Penentuan Awal Bulan Hijriyah

moon_thin_crescent_060705oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Beberapa tahun terakhir, kaum muslimin di Indonesia mengalami perbedaan dalam menentukan awal bulan hijriyah. Akibatnya, umat yang awam banyak dibuat bingung. Yang lebih buruk, perbedaan tersebut bisa memicu perpecahan di antara kaum muslimin. Bagaimana sebenarnya tuntunan syariat dalam menentukan awal bulan Hijriyah, lebih khusus Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah?
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata. Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal?
Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Lantas apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’ (tempat waktu muncul)nya sendiri, ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti?
Di sini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas. Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.
Dari ketiga pendapat itu, tampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dimungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Menurut mazhab yang kuat, perbedaan tersebut tidak dianggap.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz t menjelaskan masalah ini ketika ditanya:

Apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?

Beliau menjawab: Yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan mengabaikan adanya perbedaan mathla’, karena Nabi n memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi n tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hlm. 163)
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi n bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi n menerimanya, padahal ia berasal dari daerah lain. Nabi n juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)
Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji zaman dahulu, yang seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103—105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, selama mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh asy-Syaikh al-Albani t bahwa ini adalah mazhab jumhur ulama. Beliau berkata, “Banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih mazhab jumhur ini. Di antara mereka adalah Ibnu Taimiyah t sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (juz 25), asy-Syaukani t dalam Nailul Authar,  Shiddiq Hasan Khan t dalam ar-Raudhatun Nadiyyah, dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya. Ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas c (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas z tetap memakai ru’yah penduduk Madinah hingga puasa 30 hari atau hingga melihat hilal, red.) karena beberapa alasan yang telah disebut oleh asy-Syaukani.
Mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas z datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini, ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah z yang berbunyi:

صُومُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ

“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” (Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam al-Irwa’, no. 902 –red.) dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya.
Hadits tersebut mencakup semua orang yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negara atau daerah mana saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Fatawa (25/107).
Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di zaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah l.
Selama belum bersatunya negara-negara Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri, sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir. Karena hal ini bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hlm. 398)

Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah?

Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan al-Hasan al-Bashri t dalam masalah pemerintah, “Mereka mengurusi lima urusan kita: shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan, dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka zalim dan licik. Demi Allah, sungguh apa yang Allah l perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak….” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 7—8)
Hal yang serupa dinyatakan juga oleh as-Sindi dan al-Albani sebagaimana akan tampak dalam penjelasan berikut. Jadi ini bukan tugas/urusan individu atau kelompok, tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh al-Albani t menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah as-Shahihah (1/440):

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian, dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah z, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani  t dalam ash-Shahihah, no. 224)
Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya, “At-Tirmidzi t berkata setelah menyebutkan hadits itu, ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”
Ash-Shan’ani t berkata dalam Subulus Salam (2/72), “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia (masyarakat), dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul Adha).”
Ibnul Qayyim t menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214). Katanya, “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan atas orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya jika satu orang saksi melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”
Abul Hasan as-Sindi t mengatakan dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah z riwayat at-Tirmidzi, “Tampaknya, perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk terlibat di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut. Bahkan perkara itu diserahkan kepada pemimpin dan jamaah masyarakat. Wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemimpin dan jamaah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pimpinan menolak persaksiannya, maka mestinya ia tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sesuatu pun dari perkara ini. Wajib pula baginya untuk mengikuti jamaah masyarakat.”
Saya (al-Albani) katakan, “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits. Hal ini didukung oleh perbuatan ‘Aisyah x yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia (Masruq) tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia. Lalu ‘Aisyah x berkata,

النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُ النَّاسُ

“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Mushannaf Abdurrazzaq, 4/157)
Saya katakan (al-Albani), “Inilah yang sesuai dengan syariat yang toleran, yang di antara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari pendapat-pendapat pribadi yang mencerai-beraikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi—walaupun itu benar dari sisi pandangnya—dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa para sahabat shalat di belakang yang lain, padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu. Di antara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.
Di antara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan di antaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun, perbedaan ini dan yang lain, tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memerhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak (hisab), yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memerhatikan ilmu yang kami sebutkan ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin, karena sesungguhnya tangan Allah l bersama jamaah.” (Silsilah ash-Shahihah, 1/443—445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hlm. 398)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t ditanya:

Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?

Beliau menjawab:
Alhamdulillah. Jika dia melihat hilal untuk berpuasa atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia?
Dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari al-Imam Ahmad:
1.    Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi. Ini adalah mazhab asy-Syafi’i t juga.
2.    (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali bersama manusia. Ini yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah rahimahumullah.
3.    Berpuasa dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan sabda Nabi n:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” Riwayat at-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. (Hadits ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 224)
At-Tirmidzi t juga meriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda, “Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.” (at-Tirmidzi mengatakan bahwa [hadits ini] hasan gharib)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan, “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud t meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah z:
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha-nya kalian adalah hari kalian menyembelih. Seluruh tanah Arafah adalah tempat wuquf, seluruh tanah Mina adalah tempat menyembelih, seluruh gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan seluruh tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.” (Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)
Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah l mengaitkan hukum-hukum syar’i seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih, dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan). Allah l berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu waktu-waktu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (al-Baqarah: 189)
Allah l terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah l berfirman:“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 183—184)
Allah l wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya, yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan suaranya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/terkenal di antara manusia.
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barang siapa melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah berlaku atas dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti ia harus mengqadha puasa. Begitu pula—menurut qiyas—pada bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa barang siapa melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian tidak bersama jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah dan ber-tahallul, tidak bersama jamaah haji yang lain.
Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bersilangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).
Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah masyhurnya (diketahui secara umum) di antara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya sepuluh orang tapi tidak dikenal di antara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak, atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin. Inilah makna ucapan Nabi n:

صَوْمُكمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Oleh karena itu, al-Imam Ahmad t mengatakan dalam riwayatnya, “Berpuasa bersama imam (pemerintah) dan jamaah muslimin, baik dalam keadaan udara cerah maupun mendung.” Beliau juga mengatakan, “Tangan Allah l bersama al-Jamaah.”
Atas dasar ini, muncullah perbedaan hukum awal bulan: Apakah itu berarti (awal) bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah l menerangkan yang demikian itu dalam firman-Nya: “Maka barang siapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (al-Baqarah: 185)
Allah l hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr). Menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah diketahui umum (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) di antara manusia, sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya.
Sabda Nabi n, “Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka berbukalah padanya, serta puasalah dari rembulan kepada rembulan.”
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Namun siapa saja yang berada di suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib mengqadhanya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari al-Imam Ahmad t.
(Alasannya), karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk, red.). Saat itu wajib baginya menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk mengqadhanya menurut mazhab yang sahih. Hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114—118)

Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?

Ibnu Taimiyah t menjawab dalam Majmu’ Fatawa (25/202—208). Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah, akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka berpuasa yang tampaknya tanggal 9 padahal hakikatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang tampak dan yang diketahui jamaah manusia, walaupun pada hakikatnya tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Berdasarkan dalam kitab-kitab Sunan dari sahabat Abu Hurairah z dari Nabi n bahwasanya beliau berkata,
صَوْمُكمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan beliau mensahihkannya)
Dari ‘Aisyah x ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda, “Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi, dan beliau katakan bahwa ini yang diamalkan menurut para imam kaum muslimin seluruhnya)
Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggal 10 karena salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), menurut kesepakatan para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang tampak, wuqufnya juga sah, dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.
‘Aisyah x berkata:

إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِيْ يَعْرِفُهُ النَّاسُ

“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”
Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah l menggantungkan hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah l berfirman:
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji’. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (al-Baqarah: 189)
Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara dalam hal ini. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr, diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur di antara manusia maka berarti bulan belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, baik ini tampak dan masyhur di kalangan manusia, diumumkan maupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang harus. Oleh karena itu Nabi n bersabda, “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka, dan ‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum. Berpuasa pada hari yang diragukan, baik itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada pertentangan di antara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka ragukan, menurut kesepakatan para imam. Hari syak (yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa pada hari tersebut adalah awal Ramadhan, karena pada asalnya adalah Sya’ban1.
Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua masalah:
Pertama, jika seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah—baginya—serta hari nahr adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah ini—yang tidak diketahui manusia (secara umum)—, ataukah hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?
(Jawaban) masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal tetap tidak boleh berbuka dengan terang-terangan menurut kesepakatan ulama. Kecuali jika ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian, apakah dengan ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat di antara ulama, yang paling benar adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Ini adalah yang masyhur dari mazhab al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada mazhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi, seperti yang masyhur dari mazhab Abu Hanifah dan asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada zaman ‘Umar z melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka, “Kalau bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.”2
Hal itu karena yang namanya berbuka adalah hari di mana manusia berbuka yaitu hari ‘Ied (hari raya), sedangkan hari di mana orang tersebut—yang melihat hilal sendiri—berpuasa bukanlah merupakan hari raya yang Nabi n melarang manusia untuk berpuasa. Karena sesungguhnya beliau n melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (dengan sabdanya) (qurban), ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa, hari yang mereka melakukan penyembelihan. Ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat asy-Syaikh Ibnu Baz, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan al-Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 398)
Adapun (jawaban) masalah kedua, jika seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh melakukan wuquf sebelum hari yang tampak bagi manusia yang lain adalah tanggal 8 Dzulhijjah, walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam (penguasa) yang menetapkan masalah hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil. Mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya, keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya, salah, maupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal tidak tampak dan tidak terkenal yang manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap)—padahal telah terdapat dalam kitab ash-Shahih bahwa Nabi n bersabda dalam masalah para imam:

يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Sahih, HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Maka kesalahan dan peremehannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a’lam.
1 Ibnul Mundzir t menukilkan ijma’ bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah adalah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma’) umat. Telah sahih dari mayoritas para sahabat dan tabi’in bahwa mereka membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar t mengatakan, “Demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya. Maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma’.” (Fathul Bari, 4/123)
2 Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu Qilabah al-Jarmi t dari ‘Umar bin al-Khaththab z. Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar, berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu Taimiyah t tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.
diambil dari :
http://www.asysyariah.com/syariah/kajian-khusus/635-penentuan-awal-bulan-hijriah-kajian-khusus-edisi-3.html